Keluarga dan Aktivitas


Jumat, 08 Februari 2008

Psikologi Prasangka; Perspektif Psikologi Islami 3



2. Prasangka dapat Dihilangkan!

Sejak lama pemikiran dan penelitian dari para ahli mencari jawaban dan jalan keluar untuk mengurangi prasangka dengan membuat berbagai macam teori. Namun hingga saat ini teori yang diajukan belum menyentuh sumber masalah utama dari prasangka itu sendiri. Teori itu haya menyentuh aspek kognisi semata, belum melibatkan unsur terdalam dari sisi manusia. Ada pertanyaan menantang yang perlu dijawab, yaitu:”dapatkah prasangka itu dihilangkan?” Bagi orang atau teori yang spesimis, pertanyaan itu merupakan masalah yang sulit dijawab dan mustahil untuk dilakukan. Menurutnya, prasangka hanya dapat dikurangi saja.

Dalam sudut pandang Islam, prasangka bukan saja dapat dikurangi, namun bahkan dapat dihilangkan. Prasangka bermula dari hati (qalb) yang kotor, kemudian mengarah pada pemberian makna negatif di otak sehingga sikap dan perilakupun terbentuk dengan sendirinya. Oleh sebab itu, seseorang pada umumnya sering membuat penilaian awal dan kadangkala penilaian tersebut bukan berdasarkan fakta yang benar, sehingga sikap prasangka tertanam dalam diri. Maka dari itu untuk menghilangkan prasangka harus dimulai dari pusat/sumber penyebabnya yaitu hati. Dengan mengobati sumbernya, insyaAllah prasangka tidak akan hidup.

Sebenarnya, prasangka seseorang secara tidak langsung ditujukan pada Allah SWT. (Tuhan manusia itu sendiri). Namun, hal itu diarahkan pada orang lain atau kelompok lain. Maka dari itu, tidak ada seorangpun yang bisa merdeka dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu akan Allah, Asma’ dan Sifat-Nya, serta keyakinan adanya hikmah (kebaikan dibalik ciptaan Allah SWT). Ini sesuai hadist yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya”. Oleh karena itu prasangka dapat dihilangkan dengan cara husnudzon (baik sangka) dalam melakukan persepsi yang didasari oleh kekuatan iman dan paham akan hikmah yang Allah tetapkan. Berikut ini akan dijabarkan secara rinci usaha untuk menghilangkan prasangka.

a. Ibda` binafsi; Keyakinan terhadap Hikmah

Walaupun telah dibuat beberapa strategi dan konsep yang bagus tentang usaha mengurangi parsangka, jika tidak diikuti oleh masing-masing individu dalam penerapannya, maka usaha tersebut akan sia-sia belaka. Oleh kerana itu, usaha untuk mengurangi prasangka haruslah dimulai dari diri sendiri (ibda` binafsi) dengan berusaha semaksimal mungkian untuk berprasangka baik pada orang lain.

Setiap orang tidak dapat lepas dari prasangka, namun hal ini tidak mustahil untuk dihilangkan. Maka dari itu diperlukan adanya kemauan dan motivasi dari diri sendiri untuk mengadakan perubahan yang harus dimulai dari diri sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib diri seseorang, jika orang tersebut tidak merubah nasibnya sendiri. Oleh hal yang demikianlah maka Kawakami dkk, (2000) membuat kesimpulan dengan mengatakan bahwa hanya individu itu sendiri saja yang bisa mengalahkan prasangka dalam diri mereka.

Sebagai langkah awal usaha untuk mengikis prasangka dalam diri adalah dengan memahami adanya hikmah dibalik setiap kejadian atau perkara apapun, yang semuanya itu didasari oleh kekuatan iman (keyakinan) pada Allah SWT. Tentang keyakinan terhadap adanya himkah terdapat dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 216 dan surah An-Nisa` ayat 19 (Mansyur, A.Y. 2007) yang terjemahannya sebagai berikut:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah ayat 216)

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa` ayat 19 ).

Meyakini adanya hikmah merupakan inti dari prasangka baik (husnudzan). Menurut Harun Yahya (2004) prasangka baik merupakan salah satu ciri bagi orang-orang yang beragama. Berprasangka baik merupakan ciri dari kualitas keberagamaan seseorang. Seseorang yang mempunyai prasangka baik, akan menyadari segala keputusan Tuhan yang berlaku di alam ini dengan sikap ikhlas.

b. Kuncinya pada Kualitas Iman

Mungkin kita telah mengetahui proses persepsi, sebagaimana terdapat dalam teori psikologi. Namun proses tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ. Proses itu dapat dikembangkan pada tahap yang lebih tinggi lagi, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk mengatasi problem manusia, baik masalah bersifat psikis mauhupun fisik.

Kita ingat, ketika sahabat Ali bin Abi Thalib RA terkena panah dan mengalami rasa sakit yang sungguh luar biasa, yang kemudian dengan menjalankan sholat sakitnya tersebut tidak terasa. Konsentrasi pada masalah (stimulus/rangsang) lain dapat menghambat situmulus rasa sakit sampai ke otak, sehingga rasa sakit tidak dirasakan. Menurut Prof. Dr. Djamaluddin Ancok (Mansyur AY. 2006), yang juga merupakan salah satu dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan fenomena itu dengan gate system theory. Menurut teori ini, rangsang sakit yang masuk ke dalam otak dapat dihambat oleh rangsang lain, dalam kasus ini adalah sholat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi yang penuh dalam sholat, yaitu hanya mengingat Allah Swt. akan nenutup rangsang lain yang akan terbawa ke otak.

Konsep itu pula dapat diterapkan untuk menghilangkan prasangka. Permasalahan apapapun, baik psikis maupun fisik dapat dihilangkan dengan cara berbaik sangka yang dilandasi keimanan pada Allah SWT. Prasangka merupakan hasil dari proses persepsi. Seseorang menerima informasi mengenai objek lalu mempersepsikannya. Persepsi merupakan merupakan perangkat yang dapat digunakan oleh seluruh makhluk. Namun, Allah SWT memberikan perangkat persepsi lain yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu akal. Dengan akal menusia, dapat berfikir tentang makna-makna yang tersirat (seperti kebaikan dan keburukan, keistimewaan dan kekurangan, serta kebenaran dan kebathilan) dan membuktikan keberadaan dan kekuasaan Allah SWT sebagai pencipta melalui kesimpulan yang ditariknya dari alam dan manusia (lihat Al-Qur`an Surat QS. Fushilat; 53).

Akan tetapi kemampuan akal manusia terhadap persepsi sangatlah terbatas, bahkan pemikiran manusia tidak luput dari kesalahan. Pada kondisi tertentu manusia kadang mengalami hambatan untuk berfikir jernih, sehingga ia membutuhkan bimbingan dan pengarahan (Najati 2005). Oleh Karena itu Allah SWT mengutus rasul kepada manusia serta menurunkan kepadanya Kitab Suci, guna membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran (lihat Al-Qur`an Surat QS. Al-Baqarah; 151). Maka dari itu dalam melakukan persepsi, manusia membutuhkan kemampuan akalnya dan bimbingan dari ajaran agama yang terintegrasi dalam fitrahnya qalbu. Integrasi ini akan menghasilkan interpretasi makna yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga pemberian makna negatif (opini negatif) terhadap stimulus yang ada tidak terjadi lagi.

c. Memahami Fitrah Keragaman

Konsep keragaman atau multikulturisme dalam Islam terdapat dalam Firman Allah SWT. surah Al-Hujurat ayat 13 sebagaimana yang telah disebutkan di bagian pendahuluan. Telah menjadi bahagian dari fitrah manusia, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam satu keturunan. Walaupun manusia berada di beberapa wilayah yang berbeda, memiliki keragaman bahasa dan suku, bahkan bangsa, namun menusia memiliki satu kesamaan yaitu satu keturunan. Allah SWT telah sengaja menciptakan manusia dalam keragaman, bahkan sampai warna kulit yang berbeda sekalipun. Allah juga membentuk seluruh alam ini sesuai dengan rencana-Nya, yang pasti memiliki hikmah. Sepatutnyalah kita berbaik sangka dalam keragaman ciptaan Allah itu, karena tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan itu semua. Fitrah keragaman itu termaktub pula dalam Al-Qur`an surat Ar-Rum ayat 22 dan surat Fathir ayat 28 (Mansyur, AY. 2007) yang terjemahannya berikut:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (Ar-Rum ayat 22)

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang mengetahui-menggunakan fungsi pikirnya). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Fathir ayat 28).

Konsep keragaman tersebut dapat menjadi potensi prasangka bagi individu yang tidak dapat memahami fitrah keragaman. Dalam awal terjadinya prasangka, individu memberikan persepsi negatif terhadap satu atau beberapa individu, setelah itu terjadilah generalisasi pada suatu kaum, etnis, ras, atau bangsa sekalipun. Dalam istilah psikologi ini disebut kategorisasi dan stereotip. Sebenarnya fitrah itu ada dalam diri manusia, yang dikenalkan oleh agama yang dianut. Namun karena pengaruh lingkungan fitrah itupun dapat berubah dan luluh bersama kuatnya nafsu dalam diri manusia. Pengaruh lingkungan itu diperkuat oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Setiap bayi / anak yang bau lahir telah membawa potensi fitrah, maka kedua orang tuanyalah (lingkungan) yang mengubah fitrah itu....”. Maka dari itu, untuk mengembalikan fitrah itu, manusia harus pula kembali pada ajaran agama yang memuat konsep aturan hidup yang harus diaplikasikan dalam kehidupan oleh setiap ummatnya.

Setiap agama ataupun kaum di dunia ini mempunyai konsep dasar tentang hubungan sesama manusia dan alam. Khususnya agama Islam, mempunyai konsep dasar mengenai kemampuan individu untuk saling mengenal (ta`ruf) dan menyesuaikan diri (adjasment) terhadap sesama manusia dan lingkungan yang ada. Dari surah Al-Hujurat ayat 13 di atas, dapat dipahami bahwa manusia diciptakan untuk dapat saling kenal-mengenal diantara sesamanya. Oleh karena itu, secara tidak langsung manusia diwajibkan untuk mengenali keadaan diri masing-masing, orang lain, juga lingkungan sekitarnya.

Konsep Ta`aruf di sini, tidak hanya sekedar kenal saja, tetapi mempunyai makna luas dan mendalam yaitu kerja sama, empati, berbagi, tolong-menolong, hidup rukun, serta memiliki kesamaan visi dalam kehidupan. Diperlukannya ta`ruf dalam kehidupan bermasyarakat kerana masing-masing indidividu berasal dari latar belakang (suku, ras dan bangsa) yang berbeda. Telah diketahui bersama bahwa ajaran Islam terbagi ke dalam empat bagian besar, iaitu aqidah, syari`ah, mu`amalah dan ahklaq. Konsep ta`aruf dalam bingkai besar ajaran islam terdapat pada aspek mu`amalah dan akhlaq. Kedua bagian ini mengarah pada aturan hidup sesama manusia dan makhluq. Khususnya mua`malah, menurut Suhendi (2002) adalah segala peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.

Selain nilai ta`ruf, dalam ayat di atas terdapat pula nilai yang paling penting dan mendasar adalah nilai spiritual/keTuhanan, yaitu taqwa. Taqwa merupakan landasan utama dari ta`ruf dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau nilai ta`ruf itu untuk sesama manusia (hablumminannas), sedangkan nilai taqwa adalah untuk berhubungan dengan Tuhan (hablummninalah). Hal itu dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 112 (Mansyur, AY. 2007).Nilai ta`ruf harus dilandasi taqwa. Misalnya, seorang yang menolong orang lain kerana semata-mata didasari oleh nilai ibadah (taqwa) kepada Allah SWT. Integrasi ta`aruf dan taqwa akan mengolah potensi insani dalam meraih nilai-nilai ilahiyah yang berkenaan dengan tata aturan hubungannya antar manusia (makhluqah). Dua konsep itu menjadi dasar utama dalam membina hubungan yang harmonis dalam keragaman hidup bermasyarakat dan dapat pula menghindarkan permasalahan kehidupan kemanusian, misalnya prasangka dan akibatnya.

Tidak ada komentar: