Keluarga dan Aktivitas


Sabtu, 09 Februari 2008

Kepemimpinan Prophetic 1


Bismillahirrahmanirrahiem.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah"
(QS. AL-Ahzab; 21)

Kepemipinan prophetic belum banyak dibicarakan dan apalagi ditelti secara mendalam. Di dunai barat, beberapa kajian kepemipinan prophetic telah dilakukan, diataranya oleh John (1998) yang menyatakan bahwa kepemimpinan prophetic terdapat dalam masyarakat religius. Kepemimpinan prophetic lahir dari dunia kristen dan telah lama hadir dan berkebang dalam masyarakat Kristiani sejak 3.000 tahun yang lalu yang dibawa oleh nabi Samuel. Kemudian kepemimpinan prophetic dirasakan sangat bermanfaat bagi individu dan kelompok, tidak hanya secara fisik namun juga secara psikologis dan spiritual. Selanjutnya, Shafer (2005) menyatakan konsep kepemimpinan prophetic itu dikembangkan oleh Dewan Gereja Nasional (NCC) untuk mengatasi permasalahan kemanusiaan.

Kepemimpinan prophetic dilandasai oleh proses kematangan keberagamaan seseorang. Menurut Hasan (2004) kematangan beragama seseoarang berpengaruh pada kearifan dalam mengatasi berbagai masalah, dan sanggup mengoreksi diri sendiri dan selalu mendengar suara hari nuraninya yang paling dalam. Agama dan Spiriualitas bersumber dari keimanan sebagai potensi rohani yang teraktualisasi dalam amal-amal saleh, baik dalam ibadah, moral, kepedulian sosial, sehinga terwujud kesalehan hidup (individu maupun sosial). Agama menghasilkan tumbunya kepribadian yang religius dan berakhlaqul karimah, sehingga kualitas diri yang dimiliki tersebut diimbangi dengan ketahanan mental dan kemakmuran spiritual handal. Tidak itu saja, orang lain akan merasakan adanya ketentaraman dan kedamaian bila bersamanya.

Berbicara mengenai prophetic tak lepas dari kenabian dan kerasulan. Sebagaimana dalam kamus yang dikarang oleh Echols dan Shadily (1996) bahwa prophetic berasal dari kata prophet yang berarti nabi atau rasul. Prophetic sendiri berarti bersifat kenabian. Jadi kepemimpinan propketic adalah kepemimpinan bersifat kenabian. Nabi dan Rasul adalah seseorang laki-laki yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT dan bertugas menyebar luaskannya kepada ummat manusia. Dalam ajaran Islam, Nabi dan rosul keberadaannya harus diyakini sebagaimana yang terdapat rukun iman yang ke-4. Nabi dan rasul sebelum diangkat menjadi nabi memiliki ciri-ciri kenabian (nubuwwah) yang disebut juga dengan irhash. Seperti Nabi Muhammad SAW sejak kecil terkenal dengan akhlak yang mulia dengan sebutan al-amin (terpercaya). Menurut Hasan (2004):

Dalam konteks Islam: para rasul dan nabi adalah merupakan figur manusia seutuhnya. Mereka adalah orang yang mempunyai: basthotan fi al-`ilmi wa al-jismi, qalbun salim, qowiyyu amin, hafizhun `alim, shiddiq, amanah, tabligh, fathonah, shobur, uswatun hasanah, `abid dan sebagainya. Mereka dalam melakukan dakwah, bukan hanya memberikan mau`izhoh hasanah (pelajaran yang baik) , tetapi juga memberikan uswah hasanah (contoh dan tauladan yang baik).

Secara umum terdapat empat sifat para nabi dan rasul Allah SWT terutama diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana diungkap oleh At-Tuwajiri (2007), Moejiono (2002) dan Hasan (2004) berikut:

a. Siddiq (benar). Siddiq berarti benar dan perkataan dan perbuatan. Mustahil seorang nabi dan rosul adalah seorang pembohong yang suka berbohong.

Implemenatsi: konsisten pada kebenaran, baik dalam ucapan, sikap maupun perilaku.

b. Amanah (terpercaya). Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Mustahil seorang nabi dan rosul adalah seorang pengkhianat yang suka khianat.

Implementasi: Kejujuran, integritas moral, komitmen pada tugas dan kewajiban.

c. Fathonah (cerdas/bijaksana). Fathonah adalah cerdas, pandai atau pintar. Mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa.

Implementasi: kecerdasan penalaran, kesanggupan menangkap berbagai realitas dan fenomena yang dihadapi.

d. Tabligh (menyampaikan/transparansi). Tabligh adalah menyampaikan wahyu atau risalah dari Allah SWT kepada orang lain. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul menyembunyikan dan merahasiakan wahyu / risalah Alaah SWT. Implementasi: mempunyai kemampuan mobilitas fisik dan kepedulian sosial yang tinggi.

Ari Ginanjar Agustian (2002) pengarang buku best seller: ”Rahasia Sukses Menbangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam” memberikan kriteria kepemimpinan prophetic yang bersumber dari rukun iman ke-4 (beriman pada nabi dan rasul), yaitu: 1) mencintai dan memberikan perhatian. 2) terpercaya dan memiliki integritas. 3) membimbing dan mengajari pengikutnya. 4) berkepribadian dan konsisten. dan 5) memimpin berlandaskan hati yang fitrah (asmaul husna). Senada dengan itu, Hasan (2004) menyatakan bahwa seseorang yang menjadi khalifah (pemimpin) haruslah menanamkan dan mengaktualisasikan sifat-sifat Allah (asmaul husna) dalam dirinya.

Dalam kesempatan ini, penuls hanya menghususkan pada kepemimpinan nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagai terobosan penciptaan konsep baru dan juga dikarenakan konsep dan hasil penelitian kepemimpinan prophetic belum banyak ditemukan. Di dalam buku Muhammad The Super Leader Super Manager, Antino (2007) mencoba melihat Rasulullah SAW dengan kaca mata baru yang lebih luas yaitu bukan saja mengakui Rasulullah SAW sebagai nabi dan rasul tetapi juga menempatkannya sebagai pemilik traits of leadership dan models of management. Traits of Leadership Rasulullah SAW terdiri atas delapan bidang utama yaitu: Self development atau personal leadership, bisnis dan kewirausahaan, kepemimpinan keluarga, dakwah, sosial dan politik, pendidikan, sistem hukum, dan strategi militer. Tindak lanjut dari buku tersebut Antonio (2008) membuka pelatihan Prophetic Leradership dan Management Centre yang diarahkan untuk mengembangkan konsep kepemimpinan prophetic dan menerapkannya dalam buku yang berjudul Prophetic & Leadership Management atau disingkat ProLM.

Sanaky (2003) mengemukakan kemampuan kepemimpinan yang dimiliki nabi Muhammad SAW, yaitu memimpin diri sendiri, kemampuan manajerial, konsep relasi, visinya – Al-Qur’an, bersikap tawadhu, dan memilki 4 sifat: siddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan apa adanya) dan fathonah (pandai). Selanjutnya, dalam situs http://organisasi.org/sifat_sifat_nabi_dan_rosul, (2006) dinyakan bahwa nabi Muhammad SAW memiliki kualitas maksimum sebagai pemimpin, diantaranya: mampu melihat ke depan, mendelegasikan kekuasaan kepada orang lain yang mampu, memandang penting orang lain, memajukan bakat intelektual, emosional dan praktis, tidak meminta ketaatan buta, bersahaja dan rendah hati, bermartabat dan sangat memperhatikan pengelolaan sumber daya manusia.


Jumat, 08 Februari 2008

Puisi Prasangka 2


Saat keresahan, kekecewaaan, kegalauan melanda hatiku. Tak sengaja pagi ini kutemukan sebuah puisi yang isinya cukup menyentilku dan kemudian menggerakkan hatiku untuk bangkit dari keterpurukan.

Puisi berjudul "Merusak" yang ditulis oleh Sheila Stephens dalam buku "Chocolate For Woman's Blessings" itu cuplikannya sebagai berikut :


PRASANGKA YANG MERUSAK


Aku dilukai dan dikecewakan seorang kawan,
dan menemukan diriku marah berkepanjangan,
Aku merusak semangatku
karena orang lain.

Aku tidak mewujudkan mimpiku dengan seketika,
kemudian berhenti berusaha.
Aku merusak semangatku
karena Ketidaksabaran.

Aku merasakan turunnya hujan di pintu musim dinginku,
dan mengeluh semuanya itu tidak cukup.
Aku merusak semangatku
karena cuaca.

Aku memperhatikan hal-hal yang kumiliki
dan menyebut semuanya itu tidak cukup.
Aku merusak semangatku
karena Rasa Kekurangan.

Aku berlari tergesa-gesa
dan kehilangan rasa damaiku.
Aku merusak semangatku
karena Waktu dan Tindakan.

Aku melihat tantangan sebagai masalah,
dan takut terhadap hal buruk yang akan terjadi.
Aku merusak semangatku
karena Kecemasan.


Sumber: Dari Teman
....

Kisah Prasangka; Nenek



KISAH NENEK

Alkisah seorang wanita tua memenangkan sekeranjang koin di sebuah arisan keluarga di Atlantic City . Tentu ia sangat excited dengan kemenangan luar biasa malam itu, dan merencanakan untuk merayakannya bersama suami dengan makan malam bersama.

Sementara suaminya memesan tempat ke subuah restoran, wanita tua ini kembali ke kamar untuk menyimpan sekeranjang koin kemenangannya itu. Tentu dengan perasaan was-was, karena takut dirampok.

Ia naik kemar melalui lift yang tersedia, dan ketika ia masuk, di dalamnya ternyata masuk juga dua pria negro berkacama hitam, bertubuh kekar dan kelihatan sangat sangar. "Aduh, jangan-jangan mereka ini perampok yang mengincar para penjudi yang habis menang," pikirnya.

Tetapi wanita tua itu, meski dengan ketakutan, masuk ke dalam lift juga. "Ah, pasti bukan," hiburnya dalam hati. Tetapi toh ketakutannya makin bertambah, apalagi ketika dilihatnya --dari sudut matanya, mereka tidak tersenyum sama sekali! Wanita tua itu lalu mendekap erat keranjang koinnya dan berbalik menghadap pintu untuk menutupi rasa takutnya. Jantungnya berdegup keras ketika ternyata lift tidak bergerak!

"Waduh, mati aku! Mereka pasti akan merampokku!" pikirnya. Wanita tua itu mulai panik! Keringat dingin bercucuran! "Tuhan, saya telah terperangkap oleh dua perampok ini!" di dalam hati ia berdoa.

Tiba-tiba salah satu dari dua orang negro yang seram itu berkata keras memecahkan kesunyian, "Hit the floor!" Secara refleks wanita tua itu pun tiarap memukul lantai lift, sehingga keranjang koinnnya tertumpah dan koin berhamburan di dalam lantai lift! Ia diam sambil tetap menunduk panik dan berdoa, "Tuhan, tolong saya!"

Kemudian ia merasakan uluran tangan dari salah satu negro itu, "Mam, saya meminta teman saya untuk menekan tombol lantai berapa kita akan menuju, bukan meminta Anda memukul lantai lift!" kata pria itu sambil menahan tawa luar biasa.

"Ya ampuuun." wanita tua itu merasa malu sekali dan meminta maaf kepada dua orang negro itu yang disangkanya akan merampoknya.

Dua orang negro itu, sambil tetap menahan tawa membantu mengumpulkan koin-koin serta mengantar wanita tua itu ke depan pintu kamar. Tawa mereka meledak bersama-sama ketika si wanita tua itu kembali minta maaf dan kemudian masuk ke dalam kamar.

Esok paginya, di depan kamar wanita tua itu diletakkan rangkaian bunga dengan ucapan, "Terimakasih untuk tawa terbaik yang kita lakukan bersama tadi malam." - dan di bawahnya tertera nama bintang film dan pebola basket negro terkenal di Amerika Serikat.
Sumber; dari Teman.

Psikologi Prasangka; Perspektif Psikologi Islami 3



2. Prasangka dapat Dihilangkan!

Sejak lama pemikiran dan penelitian dari para ahli mencari jawaban dan jalan keluar untuk mengurangi prasangka dengan membuat berbagai macam teori. Namun hingga saat ini teori yang diajukan belum menyentuh sumber masalah utama dari prasangka itu sendiri. Teori itu haya menyentuh aspek kognisi semata, belum melibatkan unsur terdalam dari sisi manusia. Ada pertanyaan menantang yang perlu dijawab, yaitu:”dapatkah prasangka itu dihilangkan?” Bagi orang atau teori yang spesimis, pertanyaan itu merupakan masalah yang sulit dijawab dan mustahil untuk dilakukan. Menurutnya, prasangka hanya dapat dikurangi saja.

Dalam sudut pandang Islam, prasangka bukan saja dapat dikurangi, namun bahkan dapat dihilangkan. Prasangka bermula dari hati (qalb) yang kotor, kemudian mengarah pada pemberian makna negatif di otak sehingga sikap dan perilakupun terbentuk dengan sendirinya. Oleh sebab itu, seseorang pada umumnya sering membuat penilaian awal dan kadangkala penilaian tersebut bukan berdasarkan fakta yang benar, sehingga sikap prasangka tertanam dalam diri. Maka dari itu untuk menghilangkan prasangka harus dimulai dari pusat/sumber penyebabnya yaitu hati. Dengan mengobati sumbernya, insyaAllah prasangka tidak akan hidup.

Sebenarnya, prasangka seseorang secara tidak langsung ditujukan pada Allah SWT. (Tuhan manusia itu sendiri). Namun, hal itu diarahkan pada orang lain atau kelompok lain. Maka dari itu, tidak ada seorangpun yang bisa merdeka dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu akan Allah, Asma’ dan Sifat-Nya, serta keyakinan adanya hikmah (kebaikan dibalik ciptaan Allah SWT). Ini sesuai hadist yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya”. Oleh karena itu prasangka dapat dihilangkan dengan cara husnudzon (baik sangka) dalam melakukan persepsi yang didasari oleh kekuatan iman dan paham akan hikmah yang Allah tetapkan. Berikut ini akan dijabarkan secara rinci usaha untuk menghilangkan prasangka.

a. Ibda` binafsi; Keyakinan terhadap Hikmah

Walaupun telah dibuat beberapa strategi dan konsep yang bagus tentang usaha mengurangi parsangka, jika tidak diikuti oleh masing-masing individu dalam penerapannya, maka usaha tersebut akan sia-sia belaka. Oleh kerana itu, usaha untuk mengurangi prasangka haruslah dimulai dari diri sendiri (ibda` binafsi) dengan berusaha semaksimal mungkian untuk berprasangka baik pada orang lain.

Setiap orang tidak dapat lepas dari prasangka, namun hal ini tidak mustahil untuk dihilangkan. Maka dari itu diperlukan adanya kemauan dan motivasi dari diri sendiri untuk mengadakan perubahan yang harus dimulai dari diri sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib diri seseorang, jika orang tersebut tidak merubah nasibnya sendiri. Oleh hal yang demikianlah maka Kawakami dkk, (2000) membuat kesimpulan dengan mengatakan bahwa hanya individu itu sendiri saja yang bisa mengalahkan prasangka dalam diri mereka.

Sebagai langkah awal usaha untuk mengikis prasangka dalam diri adalah dengan memahami adanya hikmah dibalik setiap kejadian atau perkara apapun, yang semuanya itu didasari oleh kekuatan iman (keyakinan) pada Allah SWT. Tentang keyakinan terhadap adanya himkah terdapat dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 216 dan surah An-Nisa` ayat 19 (Mansyur, A.Y. 2007) yang terjemahannya sebagai berikut:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah ayat 216)

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa` ayat 19 ).

Meyakini adanya hikmah merupakan inti dari prasangka baik (husnudzan). Menurut Harun Yahya (2004) prasangka baik merupakan salah satu ciri bagi orang-orang yang beragama. Berprasangka baik merupakan ciri dari kualitas keberagamaan seseorang. Seseorang yang mempunyai prasangka baik, akan menyadari segala keputusan Tuhan yang berlaku di alam ini dengan sikap ikhlas.

b. Kuncinya pada Kualitas Iman

Mungkin kita telah mengetahui proses persepsi, sebagaimana terdapat dalam teori psikologi. Namun proses tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ. Proses itu dapat dikembangkan pada tahap yang lebih tinggi lagi, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk mengatasi problem manusia, baik masalah bersifat psikis mauhupun fisik.

Kita ingat, ketika sahabat Ali bin Abi Thalib RA terkena panah dan mengalami rasa sakit yang sungguh luar biasa, yang kemudian dengan menjalankan sholat sakitnya tersebut tidak terasa. Konsentrasi pada masalah (stimulus/rangsang) lain dapat menghambat situmulus rasa sakit sampai ke otak, sehingga rasa sakit tidak dirasakan. Menurut Prof. Dr. Djamaluddin Ancok (Mansyur AY. 2006), yang juga merupakan salah satu dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan fenomena itu dengan gate system theory. Menurut teori ini, rangsang sakit yang masuk ke dalam otak dapat dihambat oleh rangsang lain, dalam kasus ini adalah sholat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi yang penuh dalam sholat, yaitu hanya mengingat Allah Swt. akan nenutup rangsang lain yang akan terbawa ke otak.

Konsep itu pula dapat diterapkan untuk menghilangkan prasangka. Permasalahan apapapun, baik psikis maupun fisik dapat dihilangkan dengan cara berbaik sangka yang dilandasi keimanan pada Allah SWT. Prasangka merupakan hasil dari proses persepsi. Seseorang menerima informasi mengenai objek lalu mempersepsikannya. Persepsi merupakan merupakan perangkat yang dapat digunakan oleh seluruh makhluk. Namun, Allah SWT memberikan perangkat persepsi lain yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu akal. Dengan akal menusia, dapat berfikir tentang makna-makna yang tersirat (seperti kebaikan dan keburukan, keistimewaan dan kekurangan, serta kebenaran dan kebathilan) dan membuktikan keberadaan dan kekuasaan Allah SWT sebagai pencipta melalui kesimpulan yang ditariknya dari alam dan manusia (lihat Al-Qur`an Surat QS. Fushilat; 53).

Akan tetapi kemampuan akal manusia terhadap persepsi sangatlah terbatas, bahkan pemikiran manusia tidak luput dari kesalahan. Pada kondisi tertentu manusia kadang mengalami hambatan untuk berfikir jernih, sehingga ia membutuhkan bimbingan dan pengarahan (Najati 2005). Oleh Karena itu Allah SWT mengutus rasul kepada manusia serta menurunkan kepadanya Kitab Suci, guna membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran (lihat Al-Qur`an Surat QS. Al-Baqarah; 151). Maka dari itu dalam melakukan persepsi, manusia membutuhkan kemampuan akalnya dan bimbingan dari ajaran agama yang terintegrasi dalam fitrahnya qalbu. Integrasi ini akan menghasilkan interpretasi makna yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga pemberian makna negatif (opini negatif) terhadap stimulus yang ada tidak terjadi lagi.

c. Memahami Fitrah Keragaman

Konsep keragaman atau multikulturisme dalam Islam terdapat dalam Firman Allah SWT. surah Al-Hujurat ayat 13 sebagaimana yang telah disebutkan di bagian pendahuluan. Telah menjadi bahagian dari fitrah manusia, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam satu keturunan. Walaupun manusia berada di beberapa wilayah yang berbeda, memiliki keragaman bahasa dan suku, bahkan bangsa, namun menusia memiliki satu kesamaan yaitu satu keturunan. Allah SWT telah sengaja menciptakan manusia dalam keragaman, bahkan sampai warna kulit yang berbeda sekalipun. Allah juga membentuk seluruh alam ini sesuai dengan rencana-Nya, yang pasti memiliki hikmah. Sepatutnyalah kita berbaik sangka dalam keragaman ciptaan Allah itu, karena tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan itu semua. Fitrah keragaman itu termaktub pula dalam Al-Qur`an surat Ar-Rum ayat 22 dan surat Fathir ayat 28 (Mansyur, AY. 2007) yang terjemahannya berikut:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (Ar-Rum ayat 22)

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang mengetahui-menggunakan fungsi pikirnya). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Fathir ayat 28).

Konsep keragaman tersebut dapat menjadi potensi prasangka bagi individu yang tidak dapat memahami fitrah keragaman. Dalam awal terjadinya prasangka, individu memberikan persepsi negatif terhadap satu atau beberapa individu, setelah itu terjadilah generalisasi pada suatu kaum, etnis, ras, atau bangsa sekalipun. Dalam istilah psikologi ini disebut kategorisasi dan stereotip. Sebenarnya fitrah itu ada dalam diri manusia, yang dikenalkan oleh agama yang dianut. Namun karena pengaruh lingkungan fitrah itupun dapat berubah dan luluh bersama kuatnya nafsu dalam diri manusia. Pengaruh lingkungan itu diperkuat oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Setiap bayi / anak yang bau lahir telah membawa potensi fitrah, maka kedua orang tuanyalah (lingkungan) yang mengubah fitrah itu....”. Maka dari itu, untuk mengembalikan fitrah itu, manusia harus pula kembali pada ajaran agama yang memuat konsep aturan hidup yang harus diaplikasikan dalam kehidupan oleh setiap ummatnya.

Setiap agama ataupun kaum di dunia ini mempunyai konsep dasar tentang hubungan sesama manusia dan alam. Khususnya agama Islam, mempunyai konsep dasar mengenai kemampuan individu untuk saling mengenal (ta`ruf) dan menyesuaikan diri (adjasment) terhadap sesama manusia dan lingkungan yang ada. Dari surah Al-Hujurat ayat 13 di atas, dapat dipahami bahwa manusia diciptakan untuk dapat saling kenal-mengenal diantara sesamanya. Oleh karena itu, secara tidak langsung manusia diwajibkan untuk mengenali keadaan diri masing-masing, orang lain, juga lingkungan sekitarnya.

Konsep Ta`aruf di sini, tidak hanya sekedar kenal saja, tetapi mempunyai makna luas dan mendalam yaitu kerja sama, empati, berbagi, tolong-menolong, hidup rukun, serta memiliki kesamaan visi dalam kehidupan. Diperlukannya ta`ruf dalam kehidupan bermasyarakat kerana masing-masing indidividu berasal dari latar belakang (suku, ras dan bangsa) yang berbeda. Telah diketahui bersama bahwa ajaran Islam terbagi ke dalam empat bagian besar, iaitu aqidah, syari`ah, mu`amalah dan ahklaq. Konsep ta`aruf dalam bingkai besar ajaran islam terdapat pada aspek mu`amalah dan akhlaq. Kedua bagian ini mengarah pada aturan hidup sesama manusia dan makhluq. Khususnya mua`malah, menurut Suhendi (2002) adalah segala peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.

Selain nilai ta`ruf, dalam ayat di atas terdapat pula nilai yang paling penting dan mendasar adalah nilai spiritual/keTuhanan, yaitu taqwa. Taqwa merupakan landasan utama dari ta`ruf dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau nilai ta`ruf itu untuk sesama manusia (hablumminannas), sedangkan nilai taqwa adalah untuk berhubungan dengan Tuhan (hablummninalah). Hal itu dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 112 (Mansyur, AY. 2007).Nilai ta`ruf harus dilandasi taqwa. Misalnya, seorang yang menolong orang lain kerana semata-mata didasari oleh nilai ibadah (taqwa) kepada Allah SWT. Integrasi ta`aruf dan taqwa akan mengolah potensi insani dalam meraih nilai-nilai ilahiyah yang berkenaan dengan tata aturan hubungannya antar manusia (makhluqah). Dua konsep itu menjadi dasar utama dalam membina hubungan yang harmonis dalam keragaman hidup bermasyarakat dan dapat pula menghindarkan permasalahan kehidupan kemanusian, misalnya prasangka dan akibatnya.

Puisi Prasangka



Oh..Prasangka


Manusia hari ini suka bersangka-sangka, ada yang berprasangka baik ada juga sangkaan buruk.
Orang rajin beribadah disangka riya’, Orang yang istirahat disangka malas
Orang yang pakai baju baru disangka pamer, Orang yang pakai baju jelek disangka merendah.
Orang makan banyak disangka rakus, Orang makan sedikit disangka diet.
Orang seyum disangka mengejek, Orang yang masam disangka ngambek.
Orang cantik menawan disangka pakai susuk, Orang nampak ceria disangka sombong..
Orang mengingatkan dan menasehati disangka mengumpat, Orang diam disangka menyendiri. ………
Orang pake jilbab disangka ketombean…. Botak…. Rambut jelek….. huff…..
Orang melaksanakan perintah Alloh disangka aneh, tapi untuk yang meninggalkan syare’at dibilang moderen ….

Siapa tahu yang diam itu karena berdzikir kepada Alloh
Siapa tahu yang senyum itu karena bersedekah
Siapa tahu yang masam itu karena mengenangkan dosa
Siapa tahu yang menawan itu karena bersih hati fikirannya
Siapa tahu yang ceria itu karena rajin dan cerdasnya..

Psikologi Prasangka; Perspektif Psikologi Islami 2



1. Prasangka dan Tabiat Manusia

Keterangan mangenai prasangka dapat diawali dari kisah berikut:

Kisah Adik Kakak

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama berusaha mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengajiannya. Jaraknya sekitar 10 km dari rumah peninggalan orang tua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Tak lama kemudian, Allah mengabulkannya. Sebuah mobil dapat ia
miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja. Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya. Tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya. Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan i`tikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji ke rumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat ia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla. Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat, karena sakit, sang adik meninggal dunia. Sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya, sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul. Kemudian sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya sholat. Kertas itu berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya:

“Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dari prasangka dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku di dunia dan akhirat,”

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya. Tak diduga, ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya. Subhanallah.

Sumber : http://suryaningsih.wordpress.com/2007/09/07/prasangka-baik/

Pada saat membaca kisah itu, mungkin kita juga telah berprasangka, iyakan? Astagfirullah. Mungkin prasangka pada tingkat rendah. Namun, itu telah menunjukkan bahwa kita memiliki tabiat prasangka. Selain kisah tersebut, banyak lagi kisah dan bukti bahwa dalam kehidupan kita tak lepas dari prasangka. Bukti awal dari ada dan terjadinya prasangka dalam sejarah kehidupan umat manusia adalah kisah dari anak Adam, nenek moyang kita, yang tega membunuh saudaranya sendiri. Kisah yang telah kita ketahui bersama itu didasari oleh prasangka negatif, dimana Qabil menemui ajalnya akibat pembunuhan yang dilakukan oleh kakanya, Habil. Kebenaran kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surah Al-Maidah ayat 27 (Mansyur, AY. 2007) berikut:

Terjemah:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (Al-Maidah ayat 27).

Manusia sebagai khalifah dilengkapi dengan berbagai kelebihan, tetapi sebagai hamba Allah, ia juga memiliki berbagai kelemahan. Disamping potensi untuk kebaikan (taqwa dan fitrah), pada manusia juga terdapat potensi yang menjerumuskanya ke lembah kehinaan (fujur dan nafsu). Di satu sisi, manusia memiliki fitrah berketuhanan seperti yang disebut dalam surat ar Rum/ 30: 30 اyang menyebabkan ia rindu untuk mendekatkan diri (taqarrub dan taraqqi) kepada Tuhan, tetapi pada sisi yang lain, manusia memiliki hawa nafsu yang akan menjauhkan hubungan manusia itu dengan Nya. Manusia telah memiliki sifat dasar yang fitrah (suci), seperti kertas putih yang tidak memiliki noda. Namun pada tahap perkembangannya di dunia, manusia terpengaruh oleh lingkungan, sehingga muncullah beberapa sifat dasar lain (tabiat/perangai) yang dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Sifat akibat pengaruh lingkungan itu diantaranya sifat kikir, individual, mau menang sendiri, merasa lebih dari orang lain.

Tabiat manusia itu tergambar di dalam al-Qur`an diantaranya: surah Al-Baqarah ayat 30 dan 36 tentang sifat membuat kerusakan dan bermusuhan, kemudian surah An-Nisa ayat 28, 32 dan 128 tentang tabiat lemah diri, iri hati terhadap karunia orang lain dan kikir. Kemudian terdapat dalam al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 84 yang menyatakan bahwa salah satu tabiat manusia dalam hidupnya di dunia akan berbuat jahil dan mengadakan pertikaian satu sama lain.

Tabiat manusia tersebut merupakan bagian dari potensi (faal hamaha) yang terdapat dalam diri manusia, ia dapat menjadi positif ataupun negatif (fujur dan taqwaha) tergantung dari manusia untuk dapat mengendalikannya. Allah telah memberikan manusia potensi lain sebagai pengendali, yaitu akal, nurani dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang dapat mengarahkan dirinya kepada fitrah (kebersihan sikap dan perilaku).

Psikologi Prasangka; Perspektif Psikologi Islami



Bismillahirrahmanirahiemm.

Prasangka dalam perspektif Islam dapat kita lihat dari bentuk dan akibat sebagaimana yang termaktub dalam Al-qur`an surah Al-Hujurat ayat 12 (Mansyur,AY. 2007) sebagai berikut:

Terjemah:

“Hai orang-orang yang beriman (yang beragama), jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah berbuat ghibah /menggunjingkan (membicarakan keburukan) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat ayat 12).

Ada tiga hikmah yang didapatkan dari ayat di atas, yaitu: tentang dzan, bentuk dzan, dan qiyas (perumpamaan) prasangka. Pertama, prasangka dalam bahasa Arab disebut dzan. Prasangka yang berkonotasi positif disebut dengan husnudzan, sedangkan prasangka yang berkonotasi negatif diistilahkan dengan su`udzan. Jadi, prasangka merupakan praduga/predesposisi yang bisa berkonotasi positif atau negatif terhadap suatu objek. Isi dari prasangka adalah pemberian kesan atau label negatif pada orang atau suatu kelompok tertentu yang berbeda dengan keadaan sesungguhnya. Pengertian prasangka itu diperkuat dalam surah Al-An`am ayat 143 yang terjemahannya: ”Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira”.

Kedua, dalam ayat di atas terdapat potongan ayat yang terjemahannya: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (membicarakan keburukan) satu sama lain.” Ayat ini mengandung larangan Allah terhadap dua bentuk prasangka yaitu mencari keburukan orang dan bergunjing/ghibah. Kemudian, perumpamaan (qiyas) prasangka dan bentuk-bentuknya tersebut tergambar dalam redaksi ayat : “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.

Selain bentuk prasangka yang telah dijelaskan di atas, masih banyak pula bentuk lain dari prasangka itu, diantaranya sikap merendahkan, mencela dan memanggil dengan panggilan yang jelek. Hal itu terdapat dalam surat Al-Hujurat ayat 11 (Mansyur, AY. 2007) berikut:

Terjemahan:

Hai orang-orang yang beriman (beragama), janganlah sekumpulan kaum (orang laki-laki) merendahkan kumpulan kaum (laki-laki) yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan kaum (perempuan) merendahkan kumpulan kaum (perempuan) lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela (orang lain dan) dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat ayat 11).

Dampak lain yang ditimbulkan dari adanya prasangka adalah diskriminasi, yang dapat ditunjukkan dengan sikap tidak berlaku adil pada orang lain atau pada kaum tertentu. Seperti perlakuan tidak adil oleh Zionis Isreal yang di dukukung Amerika Serikat terhadap pemerintah dan rakyat Palestina. Perilaku diskriminasi itu sesuai dengan Firman Allah SWT. dalam surah Al-Maidah ayat 8 (Mansyur,AY. 2007) berikut:

Terjemahan:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (diskriminasi). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah: 8).