Keluarga dan Aktivitas


Jumat, 08 Februari 2008

Psikologi Prasangka; Perspektif Psikologi Islami 2



1. Prasangka dan Tabiat Manusia

Keterangan mangenai prasangka dapat diawali dari kisah berikut:

Kisah Adik Kakak

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama berusaha mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengajiannya. Jaraknya sekitar 10 km dari rumah peninggalan orang tua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Tak lama kemudian, Allah mengabulkannya. Sebuah mobil dapat ia
miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja. Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya. Tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya. Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan i`tikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji ke rumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat ia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla. Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat, karena sakit, sang adik meninggal dunia. Sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya, sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul. Kemudian sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya sholat. Kertas itu berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya:

“Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dari prasangka dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku di dunia dan akhirat,”

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya. Tak diduga, ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya. Subhanallah.

Sumber : http://suryaningsih.wordpress.com/2007/09/07/prasangka-baik/

Pada saat membaca kisah itu, mungkin kita juga telah berprasangka, iyakan? Astagfirullah. Mungkin prasangka pada tingkat rendah. Namun, itu telah menunjukkan bahwa kita memiliki tabiat prasangka. Selain kisah tersebut, banyak lagi kisah dan bukti bahwa dalam kehidupan kita tak lepas dari prasangka. Bukti awal dari ada dan terjadinya prasangka dalam sejarah kehidupan umat manusia adalah kisah dari anak Adam, nenek moyang kita, yang tega membunuh saudaranya sendiri. Kisah yang telah kita ketahui bersama itu didasari oleh prasangka negatif, dimana Qabil menemui ajalnya akibat pembunuhan yang dilakukan oleh kakanya, Habil. Kebenaran kisah ini dapat dilihat dalam Al-Qur`an surah Al-Maidah ayat 27 (Mansyur, AY. 2007) berikut:

Terjemah:

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (Al-Maidah ayat 27).

Manusia sebagai khalifah dilengkapi dengan berbagai kelebihan, tetapi sebagai hamba Allah, ia juga memiliki berbagai kelemahan. Disamping potensi untuk kebaikan (taqwa dan fitrah), pada manusia juga terdapat potensi yang menjerumuskanya ke lembah kehinaan (fujur dan nafsu). Di satu sisi, manusia memiliki fitrah berketuhanan seperti yang disebut dalam surat ar Rum/ 30: 30 اyang menyebabkan ia rindu untuk mendekatkan diri (taqarrub dan taraqqi) kepada Tuhan, tetapi pada sisi yang lain, manusia memiliki hawa nafsu yang akan menjauhkan hubungan manusia itu dengan Nya. Manusia telah memiliki sifat dasar yang fitrah (suci), seperti kertas putih yang tidak memiliki noda. Namun pada tahap perkembangannya di dunia, manusia terpengaruh oleh lingkungan, sehingga muncullah beberapa sifat dasar lain (tabiat/perangai) yang dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Sifat akibat pengaruh lingkungan itu diantaranya sifat kikir, individual, mau menang sendiri, merasa lebih dari orang lain.

Tabiat manusia itu tergambar di dalam al-Qur`an diantaranya: surah Al-Baqarah ayat 30 dan 36 tentang sifat membuat kerusakan dan bermusuhan, kemudian surah An-Nisa ayat 28, 32 dan 128 tentang tabiat lemah diri, iri hati terhadap karunia orang lain dan kikir. Kemudian terdapat dalam al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 84 yang menyatakan bahwa salah satu tabiat manusia dalam hidupnya di dunia akan berbuat jahil dan mengadakan pertikaian satu sama lain.

Tabiat manusia tersebut merupakan bagian dari potensi (faal hamaha) yang terdapat dalam diri manusia, ia dapat menjadi positif ataupun negatif (fujur dan taqwaha) tergantung dari manusia untuk dapat mengendalikannya. Allah telah memberikan manusia potensi lain sebagai pengendali, yaitu akal, nurani dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang dapat mengarahkan dirinya kepada fitrah (kebersihan sikap dan perilaku).

Tidak ada komentar: